Monday, 27 October 2014

TAREKAT SYADZILIYAH

Pendiri Tarekat Syadziliyah

Tarekat Syadziliyah adalah tarekat yang dipelopori oleh Syeh Abul Hasan Asy Syadzili. Nama Lengkapnya adalah Abul Hasan Asy Syadzili al-Hasani bin Abdullah Abdul Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Hatim bin Qushay bin Yusuf bin Yusya' bin Ward bin Baththal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad anak pemimpin pemuda ahli surga dan cucu sebaik-baik manusia: Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a dan Fatimah al-Zahra binti Rasulullah SAW.[1].
Nama kecil Syeh Abul Hasan Asy Syadzili adalah Ali, gelarnya adalah Taqiyuddin, Julukanya adalah Abu Hasan dan nama populernya adalah Asy Syadzili. al-Syadzili lahir di sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah pada tahun 593 H(1197 M). menghapal al-Quran dan pergi ke Tunis ketika usianya masih sangat muda. Ia tinggal di desa Syadzilah. Oleh karena itu, namanya dinisbatkan kepada desa tersebut meskipun ia tidak berasal dari desa tersebut.[1]

Intisari tarekat

Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, doa, dan hizib. Ibn Atha'illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.
Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah'illah.

Silsilah

Sanad dan Silsilah Tariqah
  • As-Syaikh As-Sayyid Abil Hasan Asy-Syadzili ra drp
  • As-Syaikh Abdus Salam b Mashish ra drp
  • As-Syaikh Muhammad bin Harazim ra drp
  • As-Syaikh Muhammad Salih ra drp
  • As-Syaikh Shuaib Abu Madyan ra drp
  • As-Syaikh As-Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani ra drp
  • As-Syaikh Abu Said Al-Mubarak ra drp
  • As-Syaikh Abul Hasan Al-Hukkari ra drp
  • As-Syaikh At-Tartusi ra drp
  • As-Syaikh Asy-Shibli ra drp
  • As-Syaikh Sari As-Saqati ra drp
  • As-Syaikh Ma'ruf Al-Kharkhi ra drp
  • As-Syaikh Daud At-Tai ra drp
  • As-Syaikh Habib Al-Ajami ra drp
  • Imam Hasan Al-Basri ra drp
  • Sayyidina Ali bin Abu Talib ra drp
  • Sayyidina Muhammad saw

Sanad Nasab Abil Hasan Asy-Syadzili
  • As-Sayyid Asy-Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzili bin
  • Ali bin
  • Abdullah bin
  • Tamim bin
  • Hurmuz bin
  • Hatim bin
  • Qusay bin
  • Yusuf bin
  • Yusya bin
  • Ward bin
  • Bathaal bin
  • Ali bin
  • Ahmad bin
  • Muhammad bin
  • Isa bin
  • Muhammad bin
  • Abi Muhammad bin
  • Imam Hasan bin
  • Sayyidna Ali ra dan Sayyidatina Fathimah binti
  • Rasulullah Sayyidina Muhammad saw.

Wejangan dasar

  1. Tauhid dengan sebenar-benarnya tauhid yang tidak musrik kepada Allah.
  1. Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
  1. Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
  1. Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
  1. Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.
  1. Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.
Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:
Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.
Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.
Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.
Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.

Perkembangan Tarekat

Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita."
Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha'ilah berikut: "Asma al-Latif," Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.

Demografik para pengikut

Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat di dalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah "ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri "ketenangan" ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.
Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.
Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.

Contoh Hizib Al Barr (Daratan)

Amalan-Amalan

[[Hizb al-Bahr]], [[Hizb Nashor]], [[Hizb Barr]] disamping [[Hizib al-Hafidzah]], merupakan Hizib-Hizib yang terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh [[Nabi Muhammad]] SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan dan bermanfaat dalam meningkatkan kadar ibadah kepada Allah.
Sebagai contoh, [[Ibnu Batutah]] menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya doa ini baik dan tidak bertentangan dengan Sunatulloh dan Sunnatur Rosul. Untuk pengamalan hizb ini sebaiknya dalam bimbingan guru yang mengamalkannya.
Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah. Akan tetapi yang utama adalah Hizb tersebut dipergunakan untuk meningkatkan kadar ibadah yang sebenarnya kepada Allah.
Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia bukan hanya merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkah dan menjamin respon supra natural dan yang terpenting adalah mendapatkan ridha Allah. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasanya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa berlandaskan Al Qur'an dan tuntunan Rosululloh SAW, sebab murid tersebut sedang mengikuti suatu pelatihan dari sang guru untuk dapat beribadah kepada Allah dengan benar.
Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin tingkah laku islami, pemahaman, adab hati, penyaksian, pembuktian yang sangat dahsyat yang semuanya bersumber dari Nabi Muhammad SAW.

Pengaruh dan Cabang-Cabang Tarekat Syadziliyyah

Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- HasyimiyyaH dan 'Alawiyah

Kata-Kata Hikmah

Di antara Ucapan Abul Hasan asy-Syadzili:
Pengelihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya " Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya."Maka akupun memohon kekuatan dari Dia pun membuatku kuat, segala puji itu milik Allah.
Aku pesan oleh guruku (Abdus Salam ibn Masyisy ra): "Jangan anda melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkan keridhoan Allah ta'ala, dan jangan duduk dimajelis kecuali majelis yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah."
Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ikhtiar sendiri.
Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk dapat selalu taat kepada Allah yang memiliki pemelihara dirimu.
Seorang arif adalah orang yang megetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala' dan ni'mat yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya di dalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya dan bersyukur atas syukur yang mendalam.
Sedikit amal dengan mengakui dan mensyukuri karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.
Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu'min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan : "Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SW

-DIPS-

Mbah Toyik Kudus & Bib Ali Mayong

Mbah Toyik Kudus & Bib Ali Mayong


Bib Ali Mayong

Kisah ini semata-mata hanya untuk menambah kecintaan dan ketaatan pada guru (Abah / maulana Habib Luthfi ibn Ali Yahya), juga berharap sesama murid Abah agar saling mengenal “Li Taa rofu” semoga semua dalam jalinan rahmat Allah SWT. Amiin.


Mbah Toyik & Bib Ali Mayong

Mbah Toyik (K.H Thoriq) kyai asal kota Kudus Jawa Tengah. Beliau kakak seperguruan al-faqir di tempat Abah, berperawakan kurus dan berkacamata. Kalau pergi ke Kudus al faqir mampir ke beliau, ramah bersahabat dan ilmu dalam namun tawadhu luar biasa, maka saya pribadi menganggap beliau sebagai guru. Apa-apa yang diajarkan abah (kala al faqir berhalangan ngaji) beliau sampaikan, dengan bahasa yg sederhana namun mengena. Adapun ikhwal kyai “khos” ini menjadi murid abah adalah dimulai dari kisah seorang mursyid tua kala itu (Habib Ali Mayong) dijuluki mayong karna berasal dari kota Mayong-Jepara.

Alkisah pada suatu hari, sang guru mengajak muridnya (kyai Thoriq) untuk diajak ke Pekalongan (pertama kali sang kyai dikenal kan Abah). Dengan menaiki becak langganan sang Habib Ali Mayong bilang, “Pak anter nggih teng Pekalongan..(antar ke Pekalongan ya Pak)”, tentu saja tukang becak terbelalak, “Ampun bib, kulo mboten sagah (saya tidak sanggup) jawab tukang becak. Habib Ali tersenyum lalu berucap, “Wis sampeyan asal nggenjot ora usah mikir, mengko nek ora kuat mandeg ke mawon (sudah tdk usah pake mikir asal kayuh aja, ntar kalau capek berhenti). Satu..dua perlahan dikayuh pedal becak, dan meluncur kea rah Demak menuju Pekalongan, kadang dihibur si tukang becak oleh Habib dng diajak ngobrol. 

Tak berapa lama, habib bilang, “Belok kanan nyebrang Pak..”. Tukang becak pun melihat kiri dan kanan kemudian menyebrang, lalu sampai di gang Habib member aba-aba untuk berhenti. “Niki pundi Bib, terose ajeng teng Pekalongan kok mandap mriki ?” (Ini daerah mana Bib,katanya mau ke Pekalongan kok turun disini ?) Tanya tukang becak. Habib menunjuk salah satu plang toko yg bertuliskan alamat dan nama jalan, “Lha iku wis tekan Pekalongan”. Dengan penasaran tukang becak membaca “Duh gusti, lha nggih pun dugi Pekalongan, kok mboten kroso kulo ?” ( Ya Tuhan, lha bener sudah sampai Pekalongan, kok tidak berasa ya ?).

“Sampeyan nunggu mriki, nggih. Ki nek arep wedangan..sambil menyerahkan uang (kamu nunggu sini ya, ini kalau mau minum teh atau nyemil). Di kediaman abah, sudah selesai masak dan bikin hidangan, rupanya abah juga merasa kalau ada salah satu guru yang akan berkunjung ke rumah beliau (Subhanallah). Ucap salam sang habib bertemu abah, pelukan dan beramah tamah. Kemudian disampaikan maksud bahwa beliau (Habib Ali) dpt petunjuk utk ajak muridnya ke tempat abah. Abah bilang “Yo wis kersane pengeran, siapa yg ditakdirkan Allah untuk mem-baiat sang murid (kyai thoriq) antum apa ana..”. Habib Ali tersenyum dan setuju. Giliran pertama habib Ali memberi award singkat, sang murid melaksanakan. Satu jam berlalu dng khusyu’ sang murid di Tanya gurunya (habib Ali) “Bagaimana kyaine ? sdh ada isyarah ?. Sang murid kyai Thoriq menggeleng, “Ngapunten bib dereng enten pitedah” (Mohon maaf bib belum dapat petunjuk). 

Kemudian Habib Ali Mayong mempersilahkan Abah (Habib Luthfi), “Tafadhol..(silahkan). Lalu abah mendekati sang murid, perlahan memberi arahan amalan pendek. Setelah mengikuti petunjuk abah sang murid pun tertidur pulas. Satu jam berikutnya terbangun sang murid dan tergopoh-gopoh menghampiri gurunya (yang sedang berdialog dng abah). “Biib..biib ngapunten (Bib..bib maaf permisi) rupanya dlm mimpi sang murid bertemu Rosulullah SAW sedang menggandeng pemuda di sebelah kanan nya. Sedang satu lagi ada habib duduk dibawah disamping kiri nabi.

“Hagag hadza..tafadhol ya habib..(ini punya mu ya habib) habib Ali Mayong berkata pada Abah dng wajah berseri. Rupanya mimpi tadi bermakna lelaki muda tadi adalah abah yg di gandeng baginda Nabi sedang yang terduduk adalah habib Ali Mayong. Lalu saat itu juga dengan disaksikan Habib Ali gurunya, sang Kyai pun di baiat oleh Habib Luthfi (abah).

Rupanya pertemuan di Pekalongan dengan abah, adalah pertanda dari Allah untuk sang kyai. Al-Habib Ali Shihab alias Habib Ali Mayong beberapa minggu kemudian berpulang ke haribaan Nya..Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un. Dan yang paling menyedihkan adalah kala abah memberi isyarah pada Kyai (dlm mimpi) utk segera menemui gurunya, namun tidak segera di penuhi. Sebab sang Kyai ragu, pertanda tersebut dari mimpinya bukan langsung di sampaikan Abah. Kyai Thoriq kaget bukan kepalang ternyata benar terjadi, namun beliau (sang guru) telah wafat. Di rumah duka tersebut beliau berjumpa dg abah yg tiba duluan. ( Salam Kangen Kyai, smoga antum selalu sehat wal afiat, doakan ana biar sampai thariqahnya seperti halnya antum Amiin .) Nah sekarang anda semua tambah saudara lagi beliau Kyai Thariq, kadang kliwonan mampir ke abah, tapi rutin nya tiap peringatan Maulid di Kanzus beliau selalu hadir. Afuan minna.
 
-DIPS-

Kisah teladan 'Ulama

Kisah Teladan KH. Hasyim Asy’ari Tentang Muhammadiyah

1. KH. Ahmad Dahlan (Yogyakarta, 1868-1923)
Beliaulah Muhammad Darwis bin Abu Bakar bin Muhammad Sulaiman bin Murtadha bin Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Sulaiman (Ki Ageng Gribig) bin Muhammad Fadhlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Muhammadiyyah lahir 18 November 1912/8 Dzullhijjah 1330, dengan pondasi ayat: “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran ayat 104).KH. HASYIM ASY'ARI DAN KH. AHMAD DAHLAN
2. KH. Hasyim Asy’ari (Jombang, 1875-1947)
Beliaulah Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abu Sarwan bin Abdul Wahid bin Abdul Halim bin Abdurrahman (Pangeran Samhud Bagda) bin Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin Abdurrahman (Jaka Tingkir) bin Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Nahdlatul Ulama lahir 31 Januari 1926/16 Rajab 1344, dengan pondasi ayat: “Dan berpeganglah kalian kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kau karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kau telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkanmu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kalian mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran ayat 103).
MBAH HASYIM ASY’ARI DAN MBAH AHMAD DAHLAN
Oleh: KH. Yahya Cholil Staquf
Hadhratus Syaikh Muhammad Hasyim bin Asy’ari Basyaiban adalah kyai semesta. Guru dari segala kyai di tanah Jawa. Beliau kyai paripurna. Apapun yang beliau dawuhkan menjadi tongkat penuntun seumur hidup bagi santri-santrinya, bahkan sesudah wafatnya.
Nahdlatul Ulama adalah warisan beliau yang terus dilestarikan hingga para cucu-santri dan para buyut-santri, hingga sekarang. Segerombol jama’ah dalam merek jam’iyyah yang kurang rapi, sebuah ikatan yang ideologinya susah diidentifikasi, identitas yang nyaris tanpa definisi, tapi toh begitu terasa balutannya, bagi mereka yang -entah kenapa- mencintainya.
Barangkali karena memang Nahdlatul Ulama itu ikatan yang azali, cap yang dilekatkan pada ruh sejak dari sononya, sebagaimana Hadhratus Syaikh sendiri mencandranya:
بيني وبينكم في المحبة نسبة
مستورة في سر هذا العالم
نحن الذون تحاببت أرواحنا
من قبل خلق الله طينة آدم
“Antara aku dan kalian ada tautan cinta
Tersembunyi dibalik rahasia alam
Arwah kita sudah saling mencinta
Sebelum Allah mencipta lempungnya Adam.”
Ke-NU-an sejati ada di hati, bukan nomor anggota.
Kyai Abdul Karim Hasyim, putera Hadhratus Syaikh sendiri, menolak ikut ketika NU keluar dari Masyumi. Demikian pula salah seorang santri Hadhratus Syaikh, Kyai Majid, ayahanda Almarhum Prof. Dr. Nurcholis Majid. Mereka berdua memilih tetap di dalam Masyumi. Apakah mereka tak lagi NU? Belum tentu. Mereka memilih sikap itu karena berpegang pada pernyataan Hadhratus Syaikh semasa hidupnya (NU keluar dari Masyumi sesudah Hadlratusy Syaikh wafat): “Masyumi adalah satu-satunya partai bagi ummat Islam Indonesia!”
Apakah sikap pilihan mereka itu mu’tabar atau tidak, adalah soal ijtihadi. Tapi saya sungguh ingin mempercayai bahwa di hati mereka berdua tetap bersemayam ke-NU-an yang berpendar-pendar cahayanya.
Pada suatu hari di awal abad ke-20, salah seorang santri datang ke Tebuireng untuk mengadu. Santri itu Basyir namanya, berasal dari kampung Kauman, Yogyakarta. Kepada kyai panutan mutlaknya itu, santri Basyir mengadu tentang seorang tetangganya yang baru pulang dari mukim di Makkah, yang kemudian membuat odo-odo “aneh” sehingga memancing kontroversi di antara masyarakat kampungnya.
“Siapa namanya?” tanya Hadhratus Syaikh.
“Ahmad Dahlan”
“Bagaimana ciri-cirinya?”
Santri Basyir menggambarkannya.
“Oh! Itu Kang Dahlan!” Hadhratus Syaikh berseru gembira. Orang itu, beliau sudah mengenalnya. Teman semajlis dalam pengajian-pengajian Syaikh Khatib al-Minangkabawi di Makkah sana.
“Tidak apa-apa”, kata Hadhratus Syaikh, “yang dia lakukan itu ndalan (ada dasarnya). Kamu jangan ikut-ikutan memusuhinya. Malah sebaiknya kamu bantu dia”.
Santri Basyir patuh. Maka ketika kemudian Kyai Ahmad Dahlan medirikan Muhammadiyah, Kyai Basyir adalah salah seorang tangan kanan utamanya.
Apakah Kyai Basyir “tak pernah NU”? Belum tentu. Puteranya, Azhar bin Basyir, beliau titipkan kepada Kyai Abdul Qodir Munawwir (Kakak ipar Kyai Ali Ma’shum) di Krapyak, Yogyakarta, untuk memperoleh pendidikan al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya. Pengajian-pengajian Kyai Ali Ma’shum pun tak ditinggalkannya.
Belakangan, Kyai Azhar bin Basyir terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah menggantikan AR Fahruddin. Kepada teman sekamar saya, Rustamhari namanya, anak Godean yang menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UGM, saya gemar meledek: “Kamu nggak usah macam-macam”, kata saya waktu itu, “ketuamu itu ORANG NU!”
Semoga amal ibadah beliau berdua di terima oleh Allah SWT , semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT dan semoga kita semua bisa mengambil manfaat dari kisah ini. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin….

-DIPS-

Wasiat kyai faqih

Wasiat KH. Abdullah Faqih Langitan Tuban

Bila kamu memperhatikan kehidupan rumput di halaman pondokmu atau di sawah belakang sekolahanmu, maka kamu akan dapatkan padanya keteladanan daya survive yang tinggi.
Rumput mengajarkan banyak keteladanan, utamanya mental ketahanan dan kesuksesan. Setiap hari ia diinjak-injak, disabit, bahkan dicabut dari tanah, tapi esok harinya tumbuh kembali. Rumput tidak akan mati hanya dengan sekali injak, bahkan ribuan kaki menginjaknya setiap hari ia akan tetap hidup dan tetap bangkit. Itulah mental pemenang.KH. Abdullah Faqih Langitan Tuban
Seorang santri yang ingin sukses dalam menuntut ilmu harus memiliki ketahanan mental dalam menghadapi berbagai macam cobaan, ujian, rintangan, halangan, gangguan bahkan jutaan problem yang selalu datang. Ia tetap tersenyum meskipun merasa tidak nyaman, jiwanya tertekan atau bahkan tidak kerasan. Ia selalu bisa menghibur diri sendiri. Ia tetap bergembira saat diterpa rindu pada orang tua. Ia bisa bangkit dari tekanan sumpek yang menghimpitnya. Ia adalah rumput yang akan selalu tumbuh meskipun selalu diinjak.
Semangat hidup rumput adalah semangat perjuangan. Dan hakikat hidupmu adalah berjuang, berjuang untuk selau eksis sampai kamu meraih kesuksesan. Karena kesuksesan tidak akan mudah untuk digapai, maka kamu harus terus berjuang untuk tetap eksis di pondok ini. Karena dengan eksis-lah kamu bisa tetap belajar memahami banyak hal untuk menjawab tantangan zaman.
Kehidupan akan terus mengalami perubahan dan banyak tantangan, karena itu kamu harus memiliki mental ketahanan serta ketahanan mental dalam menghadapinya. Bila hanya karena satu cobaan, kamu gagal untuk tetap eksis di pondok ini, maka sama artinya kamu gagal memiliki modal ketahanan mental untuk menghadapi tantangan hidup yang sesungguhnya di masa mendatang.
Allah SWT. mendatangkan ujian dan cobaan di sela mondokmu dalam rangka untuk menolongmu, untuk mempercepat ekselerasi dan laju gerakmu dalam meraih cita-citamu. Tanpa ada ujian dan cobaan tak akan ada kenaikan level keimanan, keilmuan, kepribadian dan ketangguhan yang bisa kamu raih.
Yang harus kamu lakukan adalah meneladani rumput yang kokoh dan tahan terhadap jutaan injakan. Kamu harus belajar darinya bagaimana bisa tabah menghadapi ujian, berjiwa sumeleh dengan kenyataan, selalu berlatih untuk tetap tumbuh dan berkembang pada kondisi sesulit apa pun.
Sukses memang sulit, tiket ke surga memang mahal. Hanya orang-orang yang eksis -yang mau bertahan, rela menderita dan siap bersusah payah- yang akan meraih cita-cita dan menggapai kesuksesan dunia akhirat.
Maka, bersemangatlah wahai santri untuk tetap memiliki ketahanan dalam menghadapi ujian dan cobaan di pondok ini. Berjuanglah untuk selalu ikhlas merelakan masa mudamu, mendermakan waktu bersenang-senangmu, menukarkan kebahagianmu berada di rumah dengan tetap eksis menuntut ilmu di pondok ini. Komitmenlah menjual masa-masa indahmu dengan membeli masa keabadianmu di sisi Allah SWT.
Khususon Ilaa Ruhi KH Abdullah Faqih Langitan, Al Fatihah. Semoga amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin….

-DIPS-

SYEKH IHSAN MUHAMMAD DAHLAN AL-JAMPESI,Kediri

Biografi Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampesi Kediri

Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi kediri jawa timurBeliau terkenal sebagai seorang ulama yang pendiam dan tak suka publikasi. Salah satu ulama yang paling berpengaruh dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah nusantara pada abad ke-19 (awal abad ke-20) adalah Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi. Namun, namanya lebih dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Jampes (kini Al Ihsan Jampes) di Dusun Jampes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Namanya makin terkenal setelah kitab karangannya Siraj Al-Thalibin menjadi bidang ilmu yang dipelajari hingga perguruan tinggi, seperti Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dan, dari karyanya ini pula, ia dikenal sebagai seorang ulama sufi yang sangat hebat.
Semasa hidupnya, Kiai dari Dusun Jampes ini tidak hanya dikenal sebagai ulama sufi. Tetapi, ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu falak, fikih, hadis, dan beberapa bidang ilmu agama lainnya. Karena itu, karya-karya tulisannya tak sebatas pada bidang ilmu tasawuf dan akhlak semata, tetapi hingga pada persoalan fikih.
Dilahirkan sekitar tahun 1901, Syekh Ihsan al-Jampesi adalah putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal di lingkungan pesantren. Ayahnya KH Dahlan bin Saleh dan ibunya Istianah adalah pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Jampes. Kakeknya adalah Kiai Saleh, seorang ulama asal Bogor, Jawa Barat, yang masa muda hingga akhir hayatnya dihabiskan untuk menimba ilmu dan memimpin pesantren di Jatim.
Kiai Saleh sendiri, dalam catatan sejarahnya, masih keturunan dari seorang sultan di daerah Kuningan (Jabar) yang berjalur keturunan dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, salah seorang dari sembilan wali penyebar agama Islam di Tanah Air.
Sedangkan, ibunya adalah anak dari seorang kiai Mesir, tokoh ulama di Pacitan yang masih keturunan Panembahan Senapati yang berjuluk Sultan Agung, pendiri Kerajaan Mataram pada akhir abad ke-16.
Keturunan Syekh Ihsan al-Jampesi mengenal sosok ulama yang suka menggeluti dunia tasawuf itu sebagai orang pendiam. Meski memiliki karya kitab yang berbobot, namun ia tak suka publikasi. Hal tersebut diungkap KH Abdul Latief, pengasuh Ponpes Jampes sekaligus cucu dari Syekh Ihsan al-Jampesi.
Membaca dan menulis
Semenjak muda, Syekh Ihsan al-Jampesi terkenal suka membaca. Ia memiliki motto (semboyan hidup), ‘Tiada Hari tanpa Membaca’. Buku-buku yang dibaca beraneka ragam, mulai dari ilmu agama hingga yang lainnya, dari yang berbahasa Arab hingga bahasa Indonesia.
Seiring kesukaannya menyantap aneka bacaan, tumbuh pula hobi menulis dalam dirinya. Di waktu senggang, jika tidak dimanfaatkan untuk membaca, diisi dengan menulis atau mengarang. Naskah yang ia tulis adalah naskah-naskah yang berisi ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan kedudukannya sebagai pengasuh pondok pesantren.
Pada tahun 1930, Syekh Ihsan al-Jampesi menulis sebuah kitab di bidang ilmu falak (astronomi) yang berjudul Tashrih Al-Ibarat , penjabaran dari kitab Natijat Al-Miqat karangan KH Ahmad Dahlan, Semarang. Selanjutnya, pada 1932, ulama yang di kala masih remaja menyukai pula ilmu pedalangan ini juga berhasil mengarang sebuah kitab tasawuf berjudul Siraj Al-Thalibin . Kitab Siraj Al-Thalibin ini di kemudian hari mengharumkan nama Ponpes Jampes dan juga bangsa Indonesia.
Tahun 1944, beliau mengarang sebuah kitab yang diberi judul Manahij Al-Amdad , penjabaran dari kitab Irsyad Al-Ibad Ilaa Sabili al-Rasyad karya Syekh Zainuddin Al-Malibari (982 H), ulama asal Malabar, India. Kitab setebal 1036 halaman itu sayangnya hingga sekarang belum sempat diterbitkan secara resmi.
Selain Manahij Al-Amdad , masih ada lagi karya-karya pengasuh Ponpes Jampes ini. Di antaranya adalah kitab Irsyad Al-Ikhwan Fi Syurbati Al-Qahwati wa Al-Dukhan , sebuah kitab yang khusus membicarakan minum kopi dan merokok dari segi hukum Islam.
Kitab yang berjudul Irsyad al-Ikhwan fi Syurbati al-Qahwati wa al-Dukhan (kitab yang membahas kopi dan rokok) ini tampaknya ada kaitannya dengan pengalaman hidupnya saat masih remaja.
Di kisahkan, sewaktu muda, Syekh Ihsan terkenal bandel. Orang memanggilnya ‘Bakri’. Kegemarannya waktu itu adalah menonton wayang sambil ditemani segelas kopi dan rokok. Kebiasannya ini membuat khawatir pihak keluarga karena Bakri akan terlibat permainan judi. Kekhawatiran ini ternyata terbukti. Bakri sangat gemar bermain judi, bahkan terkenal sangat hebat. Sudah dinasihati berkali-kali, Bakri tak juga mau menghentikan kebiasan buruknya itu.
Hingga suatu hari, ayahnya mengajak dia berziarah ke makam seorang ulama bernama KH Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya. Di makam tersebut, ayahnya berdoa dan memohon kepada Allah agar putranya diberikan hidayah dan insaf. Jika dirinya masih saja melakukan perbuatan judi tersebut, lebih baik ia diberi umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat dan masyarakat.
Selepas berziarah itu, suatu malam Syekh Ihsan (Bakri) bermimpi didatangi seseorang yang berwujud seperti kakeknya sedang membawa sebuah batu besar dan siap dilemparkan ke kepalanya.”Hai cucuku, kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan batu besar ini ke kepalamu,” kata kakek tersebut.
Ia bertanya dalam hati, ”Apa hubungannya kakek denganku? Mau berhenti atau terus, itu bukan urusan kakek,” timpal Syekh Ihsan.Tiba tiba, sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syekh Ihsan hingga kepalanya pecah. Ia langsung terbangun dan mengucapkan istighfar. ”Ya Allah, apa yang sedang terjadi. Ya Allah, ampunilah dosaku.”
Sejak saat itu, Syekh Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Pulau Jawa. Mengambil berkah dan restu dari para ulama di Jawa, seperti KH Saleh Darat (Semarang), KH Hasyim Asyari (Jombang), dan KH Muhammad Kholil (Bangkalan, Madura).
Tawaran Raja Mesir
Di antara kitab-kitab karyanya, yang paling populer dan mampu mengangkat nama hingga ke mancanegara adalah Siraj Al-Thalibin . Bahkan, Raja Faruk yang sedang berkuasa di Mesir pada 1934 silam pernah mengirim utusan ke Dusun Jampes hanya untuk menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan al-Jampesi bersedia diperbantukan mengajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.
Namun, beliau menolak dengan halus permintaan Raja Faruk lewat utusannya tadi dengan alasan ingin mengabdikan hidupnya kepada warga pedesaan di Tanah Air melalui pendidikan Islam.
Dan, keinginan Syekh Ihsan al-Jampesi tersebut terwujud dengan berdirinya sebuah madrasah dalam lingkungan Ponpes Jampes di tahun 1942. Madrasah yang didirikan pada zaman pendudukan Jepang itu diberi nama Mufatihul Huda yang lebih dikenal dengan sebutan ‘MMH’ (Madrasah Mufatihul Huda).
Di bawah kepemimpinannya, Ponpes Jampes terus didatangi para santri dari berbagai penjuru Tanah Air untuk menimba ilmu. Kemudian, dalam perkembangannya, pesantren ini pun berkembang dengan didirikannya bangunan-bangunan sekolah setingkat tsanawiyah dan aliyah. Dedikasinya terhadap pendidikan Islam di Tanah Air terus ia lakukan hingga akhir hayatnya pada 15 September 1952.
Siraj Al-Thalibin, Kitab yang Sarat dengan Ilmu Tasawuf
Umat Muslim yang pernah menuntut ilmu agama di pesantren tentu pernah mendengar atau bahkan memiliki sebuah buku berbahasa Arab berjudul Siraj al-Thalibin karya Syekh Ihsan Dahlan al-Jampesi. Kitab tersebut merupakan syarah Minhaj Al-Abidin karya Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan filsuf besar di masa abad pertengahan.
Kitab Siraj al-Thalibin disusun pada tahun 1933 dan diterbitkan pertama kali pada 1936 oleh penerbitan dan percetakan An Banhaniyah milik Salim bersaudara (Syekh Salim bin Sa’ad dan saudaranya Achmad) di Surabaya yang bekerja sama dengan sebuah percetakan di Kairo, Mesir, Mustafa Al Baby Halabi. Yang terakhir adalah percetakan besar yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku ilmu agama Islam karya ulama besar abad pertengahan.
Siraj al-Thalibin terdiri atas dua juz (jilid). Juz pertama berisi 419 halaman dan juz kedua 400 halaman. Dalam periode berikutnya, kitab tersebut dicetak oleh Darul Fiqr–sebuah percetakan dan penerbit di Beirut, Lebanon. Dalam cetakan Lebanon, setiap juz dibuat satu jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman dan jilid kedua 554 halaman.
Kitab tersebut tak hanya beredar di Indonesia dan negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tetapi juga di negara-negara non-Islam, seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia, di mana terdapat jurusan filsafat, teosofi, dan Islamologi dalam perguruan tinggi tertentu. Sehingga, kitab Siraj al-Thalibin ini menjadi referensi di mancanegara.
Tidak hanya itu, kitab ini juga mendapatkan pujian luas dari kalangan ulama di Timur Tengah. Karena itu, tak mengherankan jika kitab ini dijadikan buku wajib untuk kajian pascasarjana Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, sebuah lembaga perguruan tinggi tertua di dunia.
Kitab ini dipelajari beberapa perguruan tinggi lain dan digunakan oleh hampir seluruh pondok pesantren di Tanah Air dengan kajian mendalam tentang tasawuf dan akhlak. Menurut Ketua PBNU, KH Said Aqil Siradj, seperti dikutip dari situs NU Online , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum Muslim di Afrika dan Amerika.
Karya fenomenal ulama dari Dusun Jampes, Kediri, ini belakangan menjadi pembicaraan hangat di Tanah Air. Ini setelah sebuah penerbitan terbesar di Beirut, Lebanon, kedapatan melakukan pembajakan terhadap karya Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi. Perusahaan penerbitan dengan nama Darul Kutub Al-Ilmiyah ini diketahui mengganti nama pengarang kitab Siraj al-Thalibin dengan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Bahkan, kitab versi baru ini sudah beredar luas di Indonesia.
Dalam halaman pengantar kitab Siraj al-Thalibin versi penerbit Darul Kutub Al-Ilmiyah, nama Syekh Ihsan al-Jampesi di paragraf kedua juga diganti dan penerbit menambahkan tiga halaman berisi biografi Syekh Ahmad Zaini Dahlan yang wafat pada 1941, masih satu generasi dengan Syeh Ihsan al-Jampesi yang wafat pada 1952. Sementara itu, keseluruhan isi dalam pengantar itu bahkan keseluruhan isi kitab dua jilid itu sama persis dengan kitab asal. Penerbit juga membuang taqaridh atau semacam pengantar dari Syekh KH Hasyim Asyari (Jombang), Syekh KH Abdurrahman bin Abdul Karim (Kediri), dan Syekh KH Muhammad Yunus Abdullah (Kediri).
Kitab tersebut menawarkan konsep tasawuf di zaman modern ini. Misalnya, pengertian tentang uzlah yang secara umum bermakna pengasingan diri dari kesibukan duniawi. Menurut Syekh Ihsan, maksud dari uzlah di era sekarang adalah bukan lagi menyepi, tapi membaur dalam masyarakat majemuk, namun tetap menjaga diri dari hal-hal keduniawian.

-DIPS-

SAYYID SULAIMAN BETEK Mojoagung Jombang

Biografi Sayyid Sulaiman Betek Mojoagung Jombang

Sekitar pertengahan abad ke-16 Masehi tersebutlah seorang pemuda gagah berdarah Arab di tepi barat pulau Jawa, Cirebon. Selama beberapa bulan ia berlayar dari kampung halamannya di negara Yaman. Saat itu memang sedang gencar-gencarnya orang-orang Arab berimigrasi ke tanah Jawa. Dan salah satunya adalah kakek Mbah Sayid Sulaiman, tokoh yang disebut di awal tulisan ini.
Orang-orang Arab ini datang dengan maksud bermacam-macam. Ada yang berdakwah untuk menyebarkan agama Islam, ada pula yang berniaga seraya berdakwah. Pemuda itu bernama Abdurrahman. Ia adalah seorang Sayid keturunan Rasulullah yang bergelar Basyaiban. Basyaiban adalah gelar warga habib keturunan Sayid Abu Bakar Syaiban, seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadramaut, yang terkenal alim dan sakti.makam sayyid sulaiman betek mojoagung jombang
Sayid Abu Bakar mendapat julukan Syaiban (yang beruban) karena ada kisah unik dibalik julukannya itu. Suatu ketika, Sayid Abu Bakar yang saat itu masih tergolong muda menghilang. Sejak itu ia tidak muncul-muncul. Konon, ia uzlah untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Baru setelah sekitar tiga puluh tahun, Sayid Abu Bakar muncul di Tarim. Ia tetap tampak muda. Tapi aneh, rambutnya putih, tak selembar pun yang hitam. Ia seperti berambut salju. Sejak itulah orang-orang menjulukinya Syaiban (yang beruban).
Abdurrahman masih tergolong cicit dari Sayid Abu Bakar Basyaiban. Ia putra sulung Sayid Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban. Lahir pada abad 16 Masehi di Tarim, Yaman bagian selatan, perkampungan sejuk di Hadramaut yang masyhur sebagai gudang para wali.
Dalam masa perantauannya ke Nusantara, tepatnya di Pulau Jawa, Sayid Abdurrahman memilih bertempat tinggal di Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian, ia mempersunting putri Maulana Sultan Hasanuddin (?-1570 M). Putri bangsawan itu juga masih keturunan Rasulullah. Ia bernama Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dari pasangan dua keturunan Rasulullah ini, lahir tiga orang putra: Sayid Sulaiman, Sayid Abdurrahim (terkenal dengan sebutan Mbah Arif Segoropuro Pasuruan), dan Sayid Abdul Karim.
Mewarisi ketekunan leluhurnya dalam berdakwah, keluarga ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, di Cirebon. Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak dewasa, Sayid Sulaiman dibuang oleh mereka. Putra sulung Sayid Abdurrahman ini, kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan, Jawa Tengah. Di Pekalongan, beliau menikah dan mempunyai beberapa orang putra. Empat di antaranya laki-laki, yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir, dan Ali Akbar.
Dari Pekalongan Sayid Sulaiman berkelana lagi. Kali ini, Solo (Surakarta) menjadi tempat tujuan. Selama tinggal di Solo beliau terkenal sakti. Kesaktiannya yang sudah masyhur itu mengundang rasa iri seorang Raja dari Mataram. Sang Raja ingin membuktikan kesaktian Sayid. Maka diundanglah Sayid ke keraton.
Saat itu di istana sedang berlangsung pesta pernikahan putri bungsu sang Raja. Sayid Sulaiman dipanggil menghadap. Untuk memeriahkan pesta pernikahan putri bungsunya ini, Raja meminta agar Sayid memperagakan pertunjukan yang tak pernah diperagakan oleh siapapun.
“Sulaiman, anda ini orang sakti. Kalau benar-benar sakti, saya minta tolong buatkan pertunjukan yang tidak umum, yang belum pernah disaksikan oleh orang-orang sini,” pinta Raja Mataram kepada Sayid dengan nada menghina.
Mendengar permintaan Raja yang sinis itu, Sayid meminta pada Raja untuk meletakkan bambu di alas meja, sembari berpesan untuk ditunggu. Sayid Sulaiman lalu pergi ke arah timur. Masyarakat sekitar keraton menunggu kedatangan Sayid demikian lama, namun Sayid belum juga datang. Raja Mataram hilang kesabaran. la marah. la membanting bambu di alas meja itu hingga hancur berkeping-keping. Sesuatu yang ajaib terjadi, kepingan bambu-bambu itu menjelma menjadi hewan yang bermacam-macam. Raja Mataram tersentak melihat keajaiban ini, barulah ia mengakui kesaktian Sayid Sulaiman.
Raja Mataram kemudian menitahkan beberapa prajuritnya untuk mencari Sayid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan bambu itu terus dipelihara. Hewan-hewan itu ditampung dalam sebuah kebun binatang yang kemudian diberi nama “Sriwedari”. Artinya, “Sri” adalah tempat, sedangkan “Wedari” adalah “wedar sabdane Sayid Sulaiman”. Kebun binatang itu tetap terpelihara. Tak lama berselang, Sriwedari menjadi sebuah taman dan obyek wisata terkenal peninggalan Mataram. Namun pada tahun 1978, binatang-binatang di Sriwedari dipindah ke kebun binatang Satwataru.
Nyantri di Ampel
Setelah meninggalkan Solo, Mbah Sayid Sulaiman pergi dari Solo ke Surabaya. Untuk sampai ke Surabaya, beliau harus melalui hutan belantara. Tujuan beliau menuju ke Ampel, Surabaya, adalah untuk nyantri kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Kabar keberadaan Sayid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Raja Mataram. Ia mengirim utusan ke Surabaya untuk memanggilnya. Di antara utusan itu ada Sayid Abdurrahim, adik kandung Sayid Sulaiman sendiri. Sesampainya di Ampel, ia sangat terharu bertemu kembali dengan kakaknya tercinta. Dan akhirnya, ia memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Mataram. Ia ingin belajar kepada Sunan Ampel bersama sang kakak.
Pada suatu malam, saat murid-murid Sunan Ampel sudah tertidur pulas, tiba-tiba terdapat dua kilatan sinar menerpa dua orang murid Sunan Ampel yang sedang tidur. Sinar itu berwarna kuning keemasan. Sunan Ampel yang saat itu sedang tidak tidur, menghampiri tempat jatuhnya sinar tadi. Karena keadaan yang gelap, beliau tidak dapat melihat dengan jelas wajah kedua santrinya yang diterpa sinar keemasan ini. Beliau memutuskan untuk mengikat sarung kedua santrinya itu. Usai salat Subuh, Sunan Ampel bertanya kepada para santrinya,
“Siapa yang sarungnya tadi malam terikat?”
Mbah Sayid Sulaiman dan Mbah Abdurrahim mengacungkan tangan. Lalu, Sunan Ampel berkata,
“Mulai sekarang, santriku jangan manggil Sulaiman, jangan manggil Abdurrahim tok, tapi panggillah Mas Sulaiman dan Mas Abdurrahim!”
Panggilan ini menjadi cikal-bakal sebutan “Mas” (semacam “Gus”) oleh santri untuk memanggil keturunan para Masyayikh.
Riwayat belajarnya Sayid Sulaiman kepada Sunan Ampel ini sebenarnya masih sangat disangsikan. Soalnya, terdapat selisih tahun yang terlalu jauh antara masa hidup Sayid Sulaiman dan Sunan Ampel. Sunan Ampel hidup pada 1401-1481 M (abad 14 M), sedangkan Sayid Sulaiman diperkirakan hidup pada abad 17 M, jadi selisih tiga abad (300 tahun) dengan Sunan Ampel. Kemungkinan besar, Sayid Sulaiman belajar di Ampel ini tidak pada Sunan Ampel sendiri, tetapi pada generasi-generasi penerus beliau. Kemungkinan juga cerita di atas terjadi ketika mereka nyantri kepada Habib Sholeh (Mbah Semendi).
Keramat di Pasuruan
Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik ini pergi ke Pasuruan untuk nyantri pada Mbah Sholeh Semendi di Segoropuro. (Belakangan diketahui ternyata Mbah Sholeh adalah paman mereka sendiri, saudaranya ibu mereka, Syarifah Khodijah). Setibanya di Pasuruan, setelah mengungkapkan keinginan untuk menuntut ilmu, mereka diajak mandi di sungai Winongan oleh Mbah Sholeh Semendi. Ketika mereka sedang asyik mandi bersama, tiba-tiba Mbah Semendi hilang, tak lama kemudian, muncul lagi. Kejadian ini terulang sampai dua kali.
Mbah Sulaiman berfirasat bahwa Mbah Sholeh Semendi bermaksud mencoba kesaktiannya bersama adiknya berdua. Mereka berunding, jika nanti Mbah Sholeh sedang mandi, teklek (bakiak/sandal kayu zaman dahulu) miliknya dipegang bersama-sama agar Mbah Sholeh tidak bisa menghilang. Maka mereka memegang teklek Mbah Sholeh itu dengan mengerahkan segala kemampuan. Demikian pula Mbah Sholeh. Tapi Mbah Sholeh Semendi tidak bisa menghilang. Akhirnya ia tahu bahwa ia tidak bisa menghilang sebab tekleknya dipegang oleh Sayid Sulaiman dan Sayid Abdurrahim,
“Eh, eh, jangan begitu. Lepaskan sandal saya!” pinta Mbah Sholeh.
Setelah kejadian itu, Mbah Sholeh mengakui akan kesaktian dua bersaudara itu.
Banyak kisah-kisah luar biasa yang terjadi antara Sayid Sulaiman dan Mbah Sholeh. Di antaranya, pada suatu hari, Mbah Sholeh hendak bepergian. Sebelum pergi, beliau berpesan kepada semua santrinya agar halaman dibersihkan selama kepergiannya. Maka saat beliau berangkat pergi, semua santri Mbah Sholeh melaksanakan kerja bakti, Sayid Sulaiman dan Sayid Abdurrahim turut serta bersama mereka. Lagi-lagi Sayid Sulaiman membuat keajaiban. Ia mencabuti pohon-pohon besar hingga bersih total.
Setiba dari bepergiannya, Mbah Sholeh kaget melihat pohon-pohon besar yang dicabuti sampai bersih. Setelah tahu bahwa yang mencabuti adalah Sayid Sulaiman, Mbah Sholeh memerintahkan agar pohon-pohon itu dikembalikan seperti semula. Subhanallah, dengan izin Allah, pohon-pohon tersebut dapat dikembalikan lagi oleh Mbah Sayid. Sejak kejadian itu, berita tentang kesaktian Mbah Sayid Sulaiman tersiar dari mulut ke mulut di seluruh penjuru Pasuruan.
Setelah mondok di Mbah Sholeh, Sayid Sulaiman tinggal di Kanigoro, Pasuruan. Sehingga beliau mendapat julukan Pangeran Kanigoro. Saat itu, beliau sempat menjadi penasehat Untung Surapati. Untung Surapati adalah tokoh terkemuka Pasuruan. Ia tercatat sebagai pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari Nusantara di Pasuruan.
Berita tentang kesaktian Sayid Sulaiman juga terdengar oleh Raja Keraton Pasuruan. Raja Pasuruan ini tidak percaya tentang kesaktiannya. Ia sering kali melecehkan kesaktian Mbah Sayid. Sampai suatu ketika Putri Keraton yang sedang berjalan-jalan keliling kota hilang. Kusir dan kereta kuda yang dipakai oleh sang Putri juga ikut raib. Sang Raja menjadi sedih bermuram durja.
Diadakanlah sayembara: Bagi yang menemukan sang Putri, akan mendapat hadiah yang amat besar. Tapi malang, tidak ada satu orang pun yang berhasil menemukan sang Putri. Sang Putri seperti lenyap ditelan bumi. Hati Raja semakin bersedih dan putus asa.
Akhirnya, ia meminta bantuan kepada Sayid Sulaiman yang sebelumnya sering ia hina. Di hadapan Sang Raja, Mbah Sulaiman memasukkan tangannya ke dalam saku. Tak berapa lama kemudian, beliau melemparkan sesuatu dari dalam sakunya ke halaman. Luar biasa! Dengan izin Allah, sang Putri muncul bersama kereta dan kusirnya di halaman Keraton. Konon, ia dibawa lari jin ke alam gaib.
Melihat putrinya kembali, hati Raja berbunga-bunga. Ia gembira alang-kepalang dan meminta agar Sayid Sulaiman menikahi putrinya itu sebagai tanda ucapan terima kasih atas jasanya. Namun Mbah Sayid menolak. Beliau memilih kembali ke Kanigoro.
Tak lama kemudian, Sayid Sulaiman diambil menantu oleh gurunya yang notabene pamannya sendiri, Mbah Sholeh Semendi. Semula, beliau menolak, tetapi akhirnya beliau menerima permintaan gurunya itu. Beliau menikahi putri Mbah Sholeh yang kedua. Sedangkan adiknya, Mbah Abdurrahim, mempersunting putri Mbah Sholeh yang pertama, kakaknya istri Mbah Sulaiman. Mbah Abdurrahim tinggal di Segoropuro, Pasuruan, sampai meninggal dunia. Orang-orang mengenalnya dengan panggilan Mbah Arif Segoropuro. Sedangkan Mbah Abdul Karim, adik Sayid Sulaiman yang kedua, wafat di Surabaya dan dimakamkan di komplek pemakaman Sunan Ampel.
Selain beristri putri Mbah Sholeh, Sayid Sulaiman juga mempunyai istri dari Malang. Dari istrinya dari Malang ini beliau mempunyai putra bernama Hazam.
Kembali ke Cirebon
Setelah hari pernikahan, Mbah Sulaiman kembali ke Cirebon, Jawa Barat, tempat di mana ia lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya bersama ayah dan ibu tercinta. Tapi pada saat itu, suasana di Banten dan Cirebon sedang ricuh disebabkan terjadinya pertikaian antara Sultan Agung Tirtayasa dengan putranya sendiri, Sultan Haji, yang terjadi berkisar pada tahun 1681-1683. Maka sejak tahun 1681, Sultan Agung Tirtayasa aktif melakukan penyerangan terhadap putranya ini. Pemicu pertikaian yang berlangsung sampai tiga tahun ini adalah pemihakan Sultan Haji pada Belanda.
Melihat hal ini, Mbah Sulaiman memutuskan untuk kembali lagi ke Pasuruan. Beliau kembali menetap di Kanigoro, sebuah dusun di desa Gambir Kuning. Di Gambir Kuning beliau mendirikan dua buah masjid unik. Bahan bangunannya seperti kayu usuk, belandar, ring, dan lain-lain hanya diambilkan dari kayu satu pohon terbesar di hutan Kejayan. Pohon besar itu adalah pemberian dari kepala hutan Kerajaan Untung Surapati Pasuruan. Karena ukuran pohon itu sangat besar, disediakanlah 40 ekor sapi untuk menariknya ke lokasi pembangunan masjid, tapi sapi-sapi itu tidak kuat membawanya. Tapi aneh, keesokan harinya kayu-kayu itu sudah ada di lokasi pembangunan. Konon, yang mengangkat kayu itu adalah Sayid Sulaiman sendiri.
Sampai sekarang masjid ini masih tetap ada. Namun, karena lokasinya yang sempit, masjid itu dipindah agak ke selatan oleh Syekh Rafi’i, cicit Mbah Sulaiman dari cucunya, Ummi Kultsum bin Hazam bin Sulaiman, pada bulan Rabiul Awal 1243 H, hampir dua abad yang lalu. Masjid dengan gaya arsitektur kuno itu, kini telah berusia lebih dari 400 tahun. Sampai kini, bahan-bahan masjid peninggalan Mbah Sulaiman itu masih asli, kecuali lantai dan tiang bagian dalam.
Pergi ke Keraton Mataram
Kabar kekeramatan Mbah Sayid di Pasuruan terdengar kembali ke Keraton Mataram (Solo). Raja Mataram mengutus salah seorang adipatinya untuk memanggil Mbah Sayid di Pasuruan. Setibanya di Pasuruan, adipati tersebut mengajak Mbah Sayid untuk memenuhi panggilan Raja. Mbah Sayid bermaksud memenuhi panggilan ini.
Bersama tiga orang santrinya, Mbah Djailani (Tulangan Sidoarjo), Ahmad Surahim bin Untung Surapati, dan Sayid Hazam, putranya sendiri, beliau berangkat ke Solo. Di Keraton, Raja Mataram mengumpulkan pembesar-pembesar kerajaan. Ia menyiapkan jamuan besar-besaran yang betul-betul mewah. Namun ada yang terasa janggal di hati Mbah Sayid. Ada tiga keris pusaka yang diletakkan di alas cowek yang ada sambalnya ketika mereka sedang makan bersama-sama.
Mbah Sulaiman heran melihat keris di depannya itu. Beliau berbisik kepada santrinya, “Nak, kalian lupa tidak memakan sayur kacang ini. Ayo dimakan, masing-masing satu!),” perintah Mbah Sulaiman.
“Oh, iya Mbah,” jawab mereka serempak.
Tiga buah keris itupun habis dimakan seperti halnya makan sayur kacang-kacangan. Semua yang hadir terhenyak.
“Kalau muridnya saja seperti ini, apalagi gurunya,” gumam mereka kagum.
Setelah acara makan-makan selesai, Raja Mataram Solo berembuk dengan pembesar-pembesarnya untuk mengangkat Mbah Sulaiman menjadi hakim. Namun saat kesepakatan ini disampaikan pada Sayid, beliau menolak, dengan alasan akan meminta pertimbangan dan restu kepada istri dan masyarakatnya yang ada di Pasuruan. Tentu saja, mereka yang di Pasuruan tidak menyetujui. Mereka tidak mau kehilangan tokoh yang disegani ini.
Wafatnya Sayid Sulaiman
Setiba di Pasuruan, setelah dari Solo untuk mengabarkan penolakan rakyat Pasuruan pada sang Raja, Sayid Sulaiman pamit kepada istrinya yang sedang hamil tua untuk pergi ke Ampel, Surabaya. Lalu meneruskan perjalanannya ke Jombang. Namun di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Betek, Mojoagung, Jombang, beliau jatuh sakit, kemudian wafat dan dimakamkan di sana. Tidak diketahui dengan pasti tahun kewafatannya.
Istri Mbah Sulaiman yang sedang hamil tua itu terus menunggu kedatangan sang suami. Yang ditunggu-tunggu ternyata tidak kunjung datang. la memutuskan untuk mencari Mbah Sulaiman. Dari Pasuruan ke Sidoarjo, Surabaya, lalu ke Malang. Akhirnya ia melahirkan di Desa Mendit, dekat pemandian. Namun bayinya langsung meninggal dunia dan dimakamkan di Kampung Woksuru. Istri Mbah Sulaiman ini tetap tidak putus asa. la terus mencari Sayid ke arah selatan, menuju Desa Sawojajar, Malang bagian timur. Tapi malang tak dapat ditolak, ia meninggal dunia sesampainya di desa Grebek.
Menurut versi lain, ketika pergi ke Solo untuk memenuhi panggilan Raja, Mbah Sulaiman tidak sampai ke Solo. Beliau jatuh sakit di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Betek, Mojoagung. Selama masa sakitnya, beliau dirawat oleh seorang kiai bernama Mbah Alif, sampai beliau memenuhi panggilan Tuhan. Selama berada di Mojoagung dalam rawatan Mbah Alif, Mbah Sayid Sulaiman berdoa kepada Tuhan, Kalau pertemuannya dengan Raja Solo dianggap baik dan bermanfaat, maka beliau memohon agar dipertemukan. Tetapi jika tidak, maka beliau minta lebih baik wafat di tempat itu. Akhirnya, permintaan yang kedua dikabulkan oleh Allah. Beliau tidak sampai bertemu dengan Raja Mataram, dan wafat di Mojoagung.
Adipati yang disuruh menjemput Mbah Sayid, mengirim surat kepada Raja Solo, bahwa dirinya tidak akan kembali ke Solo dan memilih menetap di Mojoagung untuk menjaga makam Mbah Sayid. Sang adipati tetap tinggal di Mojoagung hingga meninggal dunia dan dimakamkan di sana pula.
Turunkan Pewaris Perjuangannya
Hasil jerih payah Mbah Sayid dalam segala usahanya membawa berkah amat besar bagi kehidupan beragama kaum muslimin sampai sekarang. Perjuangannya mendirikan pesantren, melawan dan bergelut dengan tantangan, telah menorehkan napak tilas terciptanya apa yang kini kerap disebut dengan kentalnya moralitas agamis dan budaya pesantren. Beliau berjasa mendirikan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, juga menurunkan pewaris-pewaris perjuangannya. Para pewaris perjuangannya termasuk para ulama pemangku pesantren-pesantren besar, mulai dari Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pondok Pesantren Sidoresmo dan Pondok Pesantren Al-Muhibbin Surabaya, sampai Pondok Pesantren Syaikhuna Kholil Bangkalan.
Dari istri pertamanya di Krapyak Pekalongan, Sayid Sulaiman dikaruniai empat orang putra. Yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir (makamnya ada di Geluran,Sepanjang, Sidoarjo), dan Ali Akbar. Keturunan Sayid Sulaiman dari jalur Abdul Wahhab, banyak yang tinggal di Magelang dan Pekalongan. Sedangkan keturunan beliau dari jalur Muhammad Baqir berada di Krapyak Pekalongan. Abdul Wahhab dikenal sebagai pejuang yang gigih melawan penjajah Portugis dan Belanda. Begitu pula Hasan. Sayid yang masyhur dengan sebutan “Pangeran Agung” ini juga sosok pejuang pembebasan tanah Jawa dari cengkeraman Kompeni Belanda.
Melalui jalur Sayid Ali Akbar, banyak terlahir ulama-ulama pemangku pesantren di Jawa Timur. Sebut saja, Sidogiri, Demangan Bangkalan, dan Sidoresmo Surabaya. Sampai kini, makam Sayid Ali Akbar tidak diketahui. Konon, karena kegigihannya menentang penjajah, ia selalu diburu oleh Kompeni Belanda. Suatu ketika, Belanda berhasil menangkap Ali Akbar dan akan dibuang ke Belanda dengan menggunakan kapal. Tapi di tengah pelayaran Sayid Ali Akbar hilang. Anehnya, ia muncul lagi di Sidoresmo. Untuk kedua kalinya beliau ditangkap tentara Kompeni dan dibawa ke Belanda. Tapi seperti semula, beliau menghilang di tengah pelayaran dan kembali ke Sidoresmo. Kemudian, untuk ketiga kalinya beliau ditangkap dan dibawa ke Belanda. Tidak seperti penangkapan sebelumnya, Ali Akbar tidak kembali ke Sidoresmo. Ia terus menghilang. Konon, beliau lari ke Tarim, Hadramaut, kampung para wali di mana kakeknya, Abdurrahman Basyaiban, dilahirkan.
Sayid Ali Akbar meninggalkan enam putra yang kelak menjadi penerus jejak kakeknya, Mbah Sayid Sulaiman. Mereka adalah:
1. Sayid Imam Ghazali (makamnya di Tawunan Pasuruan)
2. Sayid Ibrahim (makamnya di Kota Pasuruan)
3. Sayid Badruddin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan Surabaya)
4. Sayid Iskandar (makamnya di Bungkul Surabaya)
5. Sayid Abdullah (makamnya di Bangkalan Madura) dan
6. Sayid Ali Ashghar (makamnya di Sidoresmo).
(belakangan diketahui, bahwa menurut catatan nasab keluarga Sidogiri dan Bangkalan, Sayid Abdullah adalah putra Sayid Sulaiman, bukan cucu Sayid Sulaiman dari Sayid Ali Akbar).
Dari Sayid Abdullah, terlahir pewaris-pewaris perjuangan Sayid Sulaiman yang memangku pesantren seperti Sidogiri dan Demangan Bangkalan, yang masing-masing telah memiliki ribuan santri.
Sedangkan keturunan Mbah Sayid Sulaiman dari Ali Ashghar di Surabaya telah ‘menguasai’ dua desa, Sidoresmo dan Sidosermo. Sekarang, di dua desa ini terdapat sekitar 28 pondok pesantren. Semuanya diasuh oleh keturunan Sayid Sulaiman.
Sayid Ali Ashghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak Yosowilangon, Surabaya.
Sedangkan dari istrinya yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi, Sayid Sulaiman mempunyai beberapa putra. Di antaranya kiai Ahmad, Lebak, Winongan, Pasuruan. Dari istrinya yang ketiga di Malang, beliau mempunyai putra Sayid Hazam. Tetapi menurut riwayat lain, Hazam adalah putra Mbah Sulaiman dari istri yang kedua, putri Mbah Sholeh Semendi.
Pembabat Sidogiri
Konon, Mbah Sayid Sulaiman membabat Sidogiri atas titah dari Sunan Giri. Beliau harus berjuang habis-habisan untuk membabat Sidogiri. Tidak sekadar bekerja keras menebang pohon-pohon Sidogiri yang masih berwujud rimba, tapi juga harus bertarung melawan bangsa Jin, sebab Sidogiri yang saat itu masih sangat angker dan menyeramkan, menjadi sarang makhluk halus dan markas para dedemit (jin). Sayang, beliau keburu mangkat saat melakukan perjalanan ke Jombang, sebelum perjuangannya yang penuh pengorbanan ini berhasil dengan sempurna. Setelah wafatnya Sayid Sulaiman, tidak ditemukan data yang kuat mengenai pelanjut perjuangan beliau dalam mambabat Sidogiri. Jejak sejarahnya hilang dan baru tercatat sejak periode Kiai Aminullah.
Ada dua versi mengenai tahun berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri. Dalam satu versi, Sidogiri didirikan pada tahun 1745. Dalam catatan lain Pondok Pesantren Sidogiri berdiri pada tahun 1712. Tahun 1712 adalah tahun paling dekat dengan masa hidup Sayid Sulaiman. Sebab seperti disebutkan sebelumnya, beliau membabat Sidogiri pada usia senjanya. Belum sempurna pembabatan Sidogiri, Sayid Sulaiman keburu meninggal.
Sedang beliau hidup pada masa Untung Surapati yang meninggal tahun 1705. Sedangkan tahun 1745 diperkirakan masa hidup Kiai Aminullah. Jadi, kemungkinan besar, usia Pondok Pesantren Sidogiri 268 tahun pada tahun ini (2013) adalah terhitung sejak periode Kiai Aminullah ini.
Kiai Aminullah adalah seorang santri yang berasal dari Bawean. Menurut satu riwayat, beliau menikah dengan Nyai Masturah binti Rofi’i bin Umi Kultsum binti Hazam bin Sayid Sulaiman. Bersama Nyai Masturah, Kiai Aminullah menetap di Sidogiri.
Namun menurut riwayat yang masyhur di kalangan keluarga Sidogiri berdasarkan catatan silsilah, Kiai Aminullah menikah dengan Nyai Indah binti Sayid Sulaiman. Menurut riwayat ini, Kiai Aminullah adalah menantu langsung Sayid Sulaiman.
Kiai Aminullah sendiri adalah figur abid (ahli ibadah) yang senang berkhidmah. Bahkan, sehabis salat Tahajud, beliau istiqamah mengisi jeding masjid-masjid di sekitar Sidogiri. Hal ini terus beliau lakukan sampai empat tahun.

-DIPS-

KH.SIROJUDDIN ABBAS MINANGKABAU

Biografi KH Sirojuddin Abbas Minangkabau

KH.Sirajuddin AbbasSebagian orang menuduh bahwa KH Sirojuddin Abbas adalah pembohong atau membuat fitnah. Ini dapat dinukil dari tulisan-tulisan puak salafi-wahabi. Akan tetapi, apakah banyak orang tahu siapakah KH Sirojuddin Abbas ini? Latar belakang beliau serta perjalanan dakwah beliau? oleh itu, ana akan memaparkan sekilas biodata beliau yang ana nukil dari Ensiklopedi Ulama Nusantara yang disusun oleh H. M. Bibit Suprapto.
Di kalangan ulama Indonesia, nama kiai Haji Sirojuddin Abbas sudah bukan nama asing lagi. Ulama ini terkenal seorang muallif kitab yang cukup produktif walau tidak sampai berjumlah puluhan buah. Sebagai seorang muallif kitab, Kiai Sirojuddin Abbas justru lebih banyak dikenal orang melalui karya-karya ilmiah keislaman yang disusunnya daripada bertemu langsung wajhan bi wajhin dengan orangnya.
Pikiran-pikiran keagamaan K. Sirojuddin Abbas banyak diikuti orang, baik yang menyangkut segi-segi akidah maupun syariah. Kitab-kitab karya ulama ini bukan saja dibaca oleh kelompok kecil di kalangan masyarakat Minangkabau di mana ia dilahirkan, bukan pula hanya oleh warga Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang pernah dipimpinnya, tetapi juga tersebar luas di kalangan umat Islam. Bisa dikatakan, orang Islam Indonesia, khususnya kelompok tradisional, menyatakan Kiai Sirojuddin sebagai pembela mazhab Syafi’i di Indonesia yang argumentatif dan menguasai bidangnya lewat kitab-kitab yang disusunnya. Kalangan tradisional di Indonesia, termasuk di dalamnya Nahdlatul Ulama, mengakui kealiman ulama ini. Ini terbukti dari banyaknya warga NU yang membaca karya-karya K. Sirojuddin Abbas, terutama warga NU dari kalangan pelajar dan mahasiswa.
Kelebihan lain K. Sirojuddin Abbas, selain seorang ulama muallif, adalah sangat gigih mempertahankan mazhab Ahlussunnah wal Jamaah, khususnya mazhab Syafi’i dalam bidang ilmu fikih. Pembelaan ini relevan sekali dengan kondisi Indonesia dan Asia Tenggara yang mayoritas penganut mazhab Syafi’i dalam ibadahnya. Dengan pembelaannya yang gigih dan argumentatif, banyak kalangan modernis yang menyebutnya terlalu kaku dan apriori terhadap paham lain, khususnya paham-paham baru.
KH.Sirajuddin Abbas lahir di kampung Bengkawas, Kabupaten Agam, Bukit tinggi, Sumatra barat, pada tanggal 20 Mei 1905. Sebagai anak laki-laki sulung Syekh Abbas bin Abdi Wahab bin Abdul Hakim Ladang lawas, seorang qadhi, ibu beliau bernama Ramalat binti Jai Bengkawas. Beliau dibesarkan dalam lingkungan agama yang taat. Pada mulanya beliau belajar Al quran pada ibu hingga berusia 13 tahun. Setelah itu beliau belajar kitab-kitab arab pada ayah beliau selama tiga tahun.
Selama enam tahun berikutnya, beliau belajar kepada para ulama di Bukittinggi dan sekitarnya. Seperti syekh Husen Pekan Senayan Kabupaten Agam, Tuanku Imran limbukan Payakumbuh limapuluh kota, Syekh H.Qasem Simabur Batu Sangkar Tanah Datar, Syekh Muhammad Zein di Simabua, Batu Sangkar, Syekh H.Abdul Malik di Gobah, ladang Laweh.
Tahun 1927 beliau belajar di tanah suci. Disana beliau berguru kepada beberapa ulama di Masjidil haram seperti :
1. Syekh Muhammad Said Yamani (mufti Mazhab Syafii) mempelajari ilmu fiqh dalam mazhab Syafii dari kitab Al Mahally
2. Syekh Husen Al Hanafi (mufti mazhab Hanafi) mempelajari ilmu hadis dari kitab Shahih Bukhary.
3. Syekh Ali Al maliki (mufti mazhab maliki) mempelajari ilmu usul fiqh dari kitab Al furuq
4. Syekh Umar hamdan, darinya beliau mempelajari kitab Al Muwatha` karangan Imam Malik.
Beliau tinggal disana sampai tahun 1933. Tahun 1930 beliau diangkat menjadi staf sekretariat pada konsultan Nedherland di Arab Saudi. Pengetahuan agamanya yang sangat luas dan penguasaannya terhadap bahasa arab yang fasih mengantarkannya kejenjang nasional dan internasional di ranah politik perjuangan bangsa Indonesia.
Sekembali dari Makkah tahun 1933 beliau mengambil dan menerima macam-macam ilmu pengetahuan agama dari syekh Sulaiman Ar rasuli Cadung Bukit tinggi.
Selain itu beliau juga belajar bahasa inggris kepada seorang guru yang berasal dari Tapanuli yaitu Ali Basya. Tiga tahun pertama di kampung ia dikenal sebagai muballigh muda yang potensial sehingga menarik minat para ulama senior yang bergabung dalam persatuan Tarbiyah Indonesia, organisasi keagamaan satu satunya yang ada di Bukitinggi. Ketika berlangsung kongres ketiga organisasi tersebut di Bukit tinggi tahun 1936 tak ayal lagi beliau pun terpilih sebagai ketua umum Tarbiyah. Ternyata pilihan itu tidak salah, ditangan beliau Tarbiyah kian berkembang. Dan yang lebih penting mulai merambah bidang politik.
Tahun 1940 Tarbiyah mulai mengajukan usul kepada pemerintah colonial agar Indonesia bisa berparlemen. Usul tersebut diajukan melalui komisi Visman yang dibuka pemerintah kolonial untuk menjaring suara-suara kalangan bawah. Sepak terjang beliau mulai didengar oleh Bung karno. Pada saat ia ditahan oleh pemerintah Kolonial di Bengkulu dan dipersiapkan untuk dibuang ke Australia (1942). Namun entah mengapa, kapal yang digunakan untuk membawa Bung Karno terbakar. Bung Karno memanfaatkan sistuasi tersebut untuk melarikan diri hingga sampai ke Muko-muko. Dari Muko-muko ia melarikan diri ke Bukit tinggi dengan menggunakan sepeda motor yang diberikan seorang penduduk yang simpati padanya. Di Bukit tinggi ia segera menemui KH.Sirajuddin Abbas. Tentu saja KH.Sirajuddin kaget, tidak menduga akan kedatangan tokoh yang namanya sedang meroket ditengah tengah masyarakat kala itu. Bung Karno berpesan pada KH Sirajuddin Abbas agar Tarbiyah lebih berhati-hati karena Jepang akan menjajah Indonesia.” Jepang lebih berbahaya dari pada Belanda.”
12.000 personel Lasmi.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 yang dibacakan Bung Karno segera sampai ketelinga KH.Sirajuddin lewat radiao bawah tanah. Segera saja ia menyebarkan berita tersebut lewat selebaran setensilan hingga ke Pekanbaru.” Indonesia sudah merdeka, kita sudah berdaulat. Mari kita berjuang mempertahankan kemerdekaan sampai titik darah penghabisan.” Tulisnya dalam selebaran itu.
Pada saat wakil presiden Moh. Hatta mengeluarkan Maklumat No.X/1945 pada bulan November, yang isinya mendorong agar rakyat bergabung dalam partai politik dan dianjurkan membentuk partai politik demi tegaknya demokrasi. Hal ini mendorong KH.Sirajuddin untuk membuat partai yang berbasis Tarbiyah. Maka ia sebagai ketua Tarbiyah segera meminta izin kepada para pendiri dan sesepuh untuk mewujudkan niat beliau tersebut.
Gayung bersambut, mereka setuju. Dengan catatan jangan meninggalkan tugas pokok yaitu pendidikan, dakwah, kegiatan social keagamaan dan keummatan. Maka pada bulan Desember tahun 1945 ketika berlangsung kongres Tarbiyah keempat di Bungkit tinggi, diputuskan bahwa Persatuan Tarbiyah Islamiyah membuat satu partai dengan nama Partai Islam Tarbiyah Islamiyah disingkat PI Perti dan mengangkat KH.Sirajuddin sebagai ketua umumnya.
Sejak itulah kiprah beliau dibidang politik kian terbuka lebar. Badan Legislatif pun memberinya tempat. Mulai dari DPRD,DPR RIS, DPRS, dan DPR GR. Hal ini memaksa beliau hijrah ke Jakarta pada tahun 1950. Di Bukit tinggi beliau meninggalkan Lasykar Muslimin dan Muslimat Indonesia (Lasmi) yang digagasnya pada tahun 1948 guna memobilisir kekutan rakyat Sumatra barat untuk mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia. Bahkan peresmianya dilakukan oleh Muhd.Nasir, seorang tokoh nasional yang berasal dari Sumatra barat yang kala itu menjabat sebagai mentri penerangan.
Maka pada ketika Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk oleh Syafruddin Prawiranegara di Padang lantaran presiden dan wakil presiden telah ditangkap, Perti pun ikut mendukung dengan mengerahkan kekuatan Lasmi yang beranggotakan 12.000 personel, untuk mengamankan dan melindungi kegiatan PDRI yang harus mobile karena kejaran Belanda. Ketika Komite Nasional Indonesia Pusat dibentuk, maka beliau pun tercatat sebagai salah satu anggotanya.
Isu palestina
Tahun 1951 tersebar isu bahwa kaum Zionis yahudi mengusir rakyat Palestina dari negerinya. KH.Sirajuddin Abbas sebagi anggota mengangkat isu tersebut kepermukaan, karena sejauh itu pemerintah tidak mengeluarkan statemen atau komentar apapun.
“Partai Islam Perti mendukung perjuangan rakyat palestina”. Orasinya di depan sidang parlemen. “rakyat Indonesia dan pemerintah Indonesia sebaiknya juga mendukung perjuangan rakyat palestina”.
Esoknya, hal itu menjadi berita utama di Koran Koran ibukota. Seminggu kemudian para ulama mendatangi beliau dan menyatakan simpatinya kepada Partai Islam Perti, sehingga partai yang belum lama hijrah keibukota ini menjadi dikenal oleh masyarakat luas.
Sekian lama hidup di tanah Arab memberi wawasan tentang palestina dan perjuangan rakyatnya dari ancaman kaum yahudi. Maka begitu terbetik berita pengusiran penduduk palestina oleh kaum yahudi, beliau memanfaatkan moment tersebut untuk membuka mata bangsa Indonesia terhadap perjuangan rakyat palestina. Sejak pidato itu ia mendapat simpati dari kalangan para ulama dan media selalu menyediakan halamannya untuk menampung berita tentang Palestina.
Berkahnya, PI Perti berkembang pesat di pulau jawa. Sehingga pada pemilu tahun 1955 PI Perti menduduki tempat kedelapan dari seluruh partai yang ikut pemilu. Sebelumnya, pada tahun 1954 KH.sirajuddin diangkat menjadi mentri kesejahteraan rakyat kabinet Ali sastroamijojo I.
Beliaulah yang menyampaikan gagasan kepada presiden Soekarno untuk menggelar Organisasi setiakawan rakyat Asia Afrika (OSRA). Bung Karno yang ketika itu sedang bersemangat dengan ide-ide menjungkalkan imperialisme dan kolonialisme menyambut baik ide tersebut dan memberikan fasilitas.
Sebagai pemakarsa beliau ditugasi untuk menghubungi dan mencari dukungan Negara-negara di Afrika. Pada kesempatan inilah beliau berkenalan dengan Anwar sadat yang pada saat itu menjabat sebagai ketua organisasi buruh Mesir. Maka pada bulan September tahun 1954 diadakanlah Konferensi OSRAA di Bandung dan terpilih sebagai ketua umum utusan dari Mesir.
Pada tahun 1958 beliau kembali meraih peluang emas. Kala itu, karena kehadiran Pemerintah revosional republic Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan oleh Ahmad Husen di Padang. Menyadari bahwa PRRI menempatkan dirinya bersebrangan dengan pemerintah maka beliaupun menegaskan kepada presiden bahwa PI perti tidak setuju dengan PRRI.
Ketika Ahmad Yani ditunjuk untuk menumpas PRRI ia meminta nasehat Kh.Sirajuddin agar sesampainya di Padang supaya menemui Buya Sulaiman Ar Rasuli, ulama yang sangat dihormati masyarakat Sumatra barat. Berbekal saran dari ulama senior tersebut Ahmad Yani berhasil melaksanakan tugasnya.
Tahun 1959 tersiar berita bahwa belanda mengirim kapal induk karel Doorman keindonesia untuk membantu mempertahankan Irian barat. untuk bisa mencapai Indonesia dalam waktu singkat kapal itu harus melewati terusan suez di Mesir. Untuk mengantisipasi hal itu Presiden Sukarno mengutus KH Sirajuddin Abbas ke Mesir untuk membicarakan hal itu dengan presiden Gamal Abdul Naser agar melarang Belanda melewati terusan Suez.
Setibanya di Mesir beliau langsung menemui kawan lamanya Anwar sadat yang menjadi pemimpin organisasi buruh. Namun Anwar Sadat tidak dapat memberikan jalan. Namun ian mempersilahkan KH Sirajuddin untuk membicarakannya dengan Presiden Gamal Abdul Naser, untuk menemui sang kepala Negara Annwar dapat mengusahakannya.
Namun ternyata presiden Gamal Abdul Naser juga tidak dapat memberikan solusi. Masalahnya,kata presiden, terusan Suez berada dalam zone internasional. Yang bisa melarang kapal asing untuyk melewati terusan tersebut hanyalah para buruh di Suez yang bermarkas di Port Said. Dengan nada pesimis KH Sirajuddin mengutarakan hal tersebut kepada Anwar Sadat.
Ternyata Anwar justru melihat celah yang sangat baik dengan ide presidennya itu. Ia mendukung saran tersebut dan ikut menbantu merealisasikannya. Singkat cerita KH.Sirajuddin dapat bertemu dengan pemimpin organisasi buruh pelabuhan dan terusan itu dan dapat menyampaikan tugas yang beliau emban. Dihadapan buruh Terusan Suez beliau berpidato meminta dukungan agar mereka melarang lewatnya kapal induk Kareel Doorman yang akan berlayar menuju Indonesia melalui terusan tersebut.
‘’Indonesia sedang berjuang mengembalikan Irian Barat dari tangan penjajah belanda “ kata KH.Sirajuddin deang bahasa arab nyang fasih. “apalagi Karel Doorman bisa sampai ke Indonesia dalam waktu singkat, perjuangan bangsa Indonesia menjadi berat.
“Sebagai Negara yang bersahabat, apalagi Mesir merupakan Negara yang pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, bantuan yang diharapakan kali ini akan bermakna positif bagi perjuangan bangsa Indonesia”. Demikian orasi kiai asal Bukit Tinggi itu dengan semangat tinggi.
Ternyata sambutan mereka sangat positif, maka Karel Doorman pun dilarang melewati terusan tersebut. Dengan adanya sikap kaum buruh terusan suez itu, Presiden Gamal Abdul Naser tanpa berpikir panjang lagi segera memberikan dukungan.
Tahun penuh fitnah.
Semakin tinggi satu pohon semakin kencang angina yang menerpanya. Ibarat itulah yang tepat untuk menggambarkan kondisi KH.Sirajuddin Abbas pada sekitar tahun 1965.
Ketika dewan revolusi yang memotori kudeta G 30 S, memperkenalkan diri melalui corong RRI, nama KH.Sirajuddin tercantum sebagai anggota. Padahal kala itu beliau sedang berobat dirumah sakit Suci, ditepi laut Hitam yang masuk dalam wilayah Uni Soviet. Kehadiran beliau di negeri tersebut adalah atas bantuan Anwar Sadat. Kala itu persahabatan Mesir dengan Uni Soviet sedang erat-eratnya, begitu pula dengan Indonesia. Alhasil beliaupun dicap sebagi PKI.
Bantahan yang dikeluarkan oleh Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Germahi) yang merupakan organisasi sayap mahasiswa PERTI, bahwa KH.Sirajuddin Abbas tidak tahu menahu tentang hal tersebut nyaris tidak berfaedah, karena tertelan oleh hiruk piruk Nasakom yang sedang dikibarkan oleh Bung Karno.
Fitnah berikutnya adalah adanya “Dokumen Cianjur” yang menyebutkan bahwa bila terjadi clash antara ABRI dengan PKI maka seluruh jajaran PERTI harus membantu PKI. Akibatnya KH.Sirajuddin diciduk dan ditahan di markas Kodam V Jaya selama 40 hari.
Tidak hanya itu juga ditemukan seribu setel pakaian loreng dan uang sekian puluh juta rupiah dirumah Sofyan siraj (anak sulung KH.Sirajuddin) di Jln.Dempo, Matraman. Sama seperti yang ditemukan di rumah D.N Aidit, ketua umum PKI. Penemuan ini dianggap sebagai petunjuk adanya kerjasama antara KH.Sirajuddin dengan Aidit.
Meski kemudian dapat dibuktikan bahwa dokumen Cianjur itu palsu dan nama baik KH. Sirajuddin direhabilitasi oleh pemerintah yang ditandatangani oleh Amir Mahmud (Laksuda Jaya), kurang begitu berpengaruh, karena koran-koran tidak ada yang bersedia memuatnya. Tudingan miring itu melekat pada beliau hingga ketika buku beliau yang berjudul I`tiqad Ahlussunnah wal jama`ah terbit muncul komentar “ ini orang PKI kok menulis buku agama”.
Dalam kasus Dokumen Cianjur, dua orang pengurus PERTI cabang Cianjur Zainuddin dan Yaqub juga kena getahnya. Kepada interrogator Laksusda setempat kedua bersikukuh bahwa dokumen itu palsu dan bersedia ditembak untuk mempertahankan pendiriannya. Mereka minta agar sebelum dieksekusi mereka diizinkan mengumandangkan azan dan tembakan itu tepat dilepaskan ketika sampai pada kalimat “Hayya `alal falah”. Namun ketika azan selesai mereka berdua mersakan suasana yang hening dan sunyi. Beberapa detik kemudian ketika mereka memberanikan diri mereka membuka penutup mata, ternyata para penembvak itu telah pingsan, SubhanALLAH
Mereka kemudian melarikan diri kearah Cianjur dan ketika sampai dikantor PERTI, hal itu mereka utarakan kepada KH.Sirajuddin. “ Masya ALLAh, semoga Allah memberkahi kalian berdua”, Komentar KH.Sirajuddin.
Tahun 1965 merupakan batas kiprah beliau memimpin PERI. Atas saran anak – anak muda PERTI, Buya Siraj, begitu beliau akrab dipanggil, lebih mencurahkan perhatian beliau dalam penulisan-penulisan buku agama. Anak-anak muda Perti yang merasa kuarang memahami soal Ahlussunnah waljamaah meminta beliau untu menulis sebuah buku yang bias menjadi pegangan bagi mereka. KH. Sirajuddin Abbas yang kala itu sudah berumur 60 tahun memenuhi permintaan itu. Dua tahun kemudian terbitlah buku I`tiqad Ahlussunnah wal jama`ah dan sejarah Keagungan Mazhab Imam Syafii. Untuk modal menerbitkan buku tersebut beliau rela menjual rumahnya di Jln.Dempo, dan pindah ke Jln.Tebet Barat kecil.
Ternyata buklu tersebut laris manis. Departemen agama pun memesan untuk keperluan IAIN. Walau demikian sebagian besar justru beliau bagikan secara gratis. NU menjadikan buku itu senbagi pedoman.
Beberapa tahun kemudian terbitlah buku 40 masalah agama sebanyak 4 jilid besar. Untuk kali ini beliau pun rela menjual rumahnya untuk modal penerbitan buku tersebut. Retakhir beliau menempati rumah di Jln.Melati Utara (kini Tebet Barat).
Buya Siraj wafat tanggal 23 ramadhan 1400 H atau 5 agustus 1980 setelah beberapa hari dirawat di RS Cipto Mangunkusumo lantaran serangan jantung. Saat pemakaman tampak perhatian warga Tarbiyah begitu besar. Jasad beliau dimakamkan dipemakman Tanah Kusir Jakarta Selatan Hadir pula wakil presiden Adam Malik. Beliau meninggalkan seorang istri dan dua anak Sofyan (almarhum) dan Fuadi.
Selain sebagi kutua umum Tarbiyah beliau juga merupakan pendiri organisasi politi “Liga Muslim Indonesia” bersama sama KH.Wahid Hasyim (wakil dari NU), Abikusno Cokrosuyono (wakil dari PSII).
Beliau banyak meninggalkan tulisan diantaranya:
1. I`tiqad Ahlussunnah wal jamaah.
Sebuah buku yang berisi tentang faham Ahlussunnah dan beberapa firqah-firqah lainnya.
2. 40 Masalah Agama
Sebuah buku yang terdiri dari empat jilid menjelaskan 40 macam masalah agama yang sedang berkembang dewasa itu. Dalam buku ini beliau juga menerangkan tentang gerakan modernisasi agama oleh orang-orang yang ingin memperbarui Islam dengan paham mereka. Beberapa tokoh yang beliau masukkan kedalam golongan ini antara lain Ibnu Taymiyah, Muhammad Abduh, Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri wahaby), Mirza Ghulam Ahmad, Mustafa kemal At Taruk dan juga presiden RI pertama Soekarno.
3. Kumpulan soal-jawab keaagamaan (sebuah buku berisi jawaban-jawaban dari beberapa pertanyaan seputar agama)
4. Thabaqatusy Syafi`iyah (Ulama Syafii dan kitabnya dari abad kea bad)
5. kitab fiqh ringkas
6. Sorotan atas terjemahan Al Quran oleh HB.Jassin
7. Sirajur Munir (Fiqh 2 jilid)
8. Bidayatul Balaghah (Bayan)
9. Khulasah Tarikh Islam
10. Ilmul Insya` 1jilid
11. Sirajul bayan fi Fahrasatil Ayatil Al quran
12. Ilmun Nafs 1 jilid
Tulisan beliau no 7-12 adalah karangan beliau dalam bahasa arab.
Ditulis oleh Mursyid A.Rahman Aly Langsa dikutip dari majalah Al kisah No.19/tahunVI/8-21 september 2008 dan sumber lainnya

-DIPS-

Entri Populer

Total Pageviews